Tentang Mencintai Diri Sendiri, Sebelum Mencintai Orang Lain

a: “Sering banget nemu quote yg menganjurkan cintai diri sendiri sebelum belajar mencintai orang lain. Apa sih maksud nya? *beneran nanya bagaimana maksudnya”

b: “Misalnya lo ngejagain perasaan orang (supaya dia bahagia, krn lo sayang sama dia), padahal lo sendiri tertekan (krn ngejagain perasaan orang). Yang ada, habis itu ngomel2 di belakang (ini kan tanda lo ga sayang sama diri sendiri).”

a: “ah, this is make sense. :thumbs-up:”

b: “Logika paling gampang itu ada di prosedur keselamatan di pesawat terbang tentang masker oksigen. Lo mesti make masker untuk diri lo sendiri dulu, baru bantuin orang/anak kecil pake masker. Hehe.”

c: “mungkin filosofinya adalah at the end you can only control yourself. your happiness, your love etc. jika digantungkan ke orang lain, then how are you going to survive if those things do not go the way you want them to, or are taken away from you? hence, love yourself first, the universe will love you back, in many, ever changing form and sources.”

b: “hmm… melihat jawaban2 yg ada, gw berkesimpulan self love kurang lebih sama dengan mendengarkan apa yg kita rasa dan inginkan, seenggak nya untuk langkah pertama nya. Dan self care berbeda dgn selfish (banyak yg mungkin gak setuju dgn ini.. karena tetap dianggap mentingin diri sendiri). Dan ini semua proses yg masih harus terus dipelajari, karena umum nya kita tdk diajar untuk self love, mostly diajar menjadi martir or menjadi robot”

(dari sebuah status-update dan percakapan comments-section di Facebook)


from my Tumblr blog: ferdifz.tumblr.com [direct link]

[LINK] “Learning the Art of Critique” (from UX Booth magazine)

[LINK] “Learning the Art of Critique” (from UX Booth magazine)

“Can you make it look like Apple?”

“You should move that text to the top of the page and make all of the buttons icons.”

If you have spent any time building, designing, or crafting something— or working with those who do—you have probably heard something along the lines of these statements, which are often followed by something like, “Well, I’m just giving you some feedback .”

…Thus begins “Discussing Design”, the new book from O’Reilly Media that shows us all how to provide feedback in a constructive way. In the book, Connor and Irizarry review three types of feedback, and why we struggle with it as designers.

“The issue with feedback lies in how nonspecific it is. Feedback itself is nothing more than a reaction or response,” they explain. Reaction-based feedback is just that—an immediate reaction without context. Direction-based feedback jumps too quickly to problem solving. But critique compares a design to the objectives it was attempting to accomplish.

[UXBooth Magazine] had the opportunity to discuss design, critique, and collaboration with the two authors.

http://ift.tt/1Pxu7aw


Originally shared on Facebook, June 15, 2016 at 07:11PM

[Link:] HP DeskJet GT series | HP® Indonesia

Ini bukan sharing berbayar, tapi terus terang sebagai penggemar printer ini menurut gw keren. HP akhirnya ngeluarin sebuah printer yang dari pabriknya sudah menggunakan tinta sistem “reservoir”. Belum cek harga riil di pasar sih, tapi ya jelas ini cukup menarik.

Juga, gw taunya dari sebuah iklan di Facebook desktop. (Bukan dari blog teknologi, bukan dari koran, bukan dari iklan di TV atau billboard manapun.) (Iklannya cuma gw lihat sekilas, gak sempet gw like/save pun…)

[http://ift.tt/29s9x0J]


from my Tumblr blog: ferdifz.tumblr.com [direct link]

[Link:] LAI: Revisi Terjemahan Alkitab Bersifat Terbuka

“LAI: Revisi Terjemahan Alkitab Bersifat Terbuka” – Nias-Bangkit.com

Wah Alkitab Bahasa Nias (Soera Ni’amoni’õ) hendak di-update penerjemahannya… Bagus lah. Semoga menggunakan ejaan yang baru, agar lebih mudah dibaca kita yang masih anak-anak, ehehe ^^“

…eh tapi ternyata artikelnya dari 2013 deng, hehe ^^”


from my Tumblr blog: ferdifz.tumblr.com [direct link]